Selasa, 25 November 2008

Pelestarian Kawasan TN Rawa Aopa Watumohai VS Perubahan Tata Ruang "Tambang"

Ketika Pemerintah Daerah Sulawesi Tenggara pada tahun 1983 mencetuskan ide untuk membangun suatu kawasan konservasi taman nasional dengan nama Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW) yang merupakan penggabungan antara kawasan Taman Buru (TB) Watumohai dan Suaka Margasatwa (SM) Rawa Aopa, sudah tentu didasarkan pada pertimbangan yang mendalam dan berangkat dari pentingnya manfaat pelestarian kawasan itu sendiri.

Sejalan dengan waktu, pengelolaan kawasan yang ditetapkan Menteri Kehutanan melalui keputusan Nomor 756/Kpts-II/1990 seluas 105.194 Ha dan terletak pada empat wilayah kabupaten (Konawe, Konsel, Kolaka dan Bombana) tidaklah semakin ringan. Tetapi dihadapkan para berbagai permasalahan dalam bentuk gangguan (perambahan, perburuan liar, illegal logging) serta tuntutan terhadap fungsi dan peranan kawasan dalam pembangunan diberbagai sisi.

Terlepas dari banyaknya permasalahan dan gangguan yang menggerogoti kawasan TNRAW, ada baiknya kita melihat seberapa penting kawasan taman nasional ini. Sehingga setidaknya akan menambah pemahaman, serta menjadikan kita lebih bijak dalam menyikapi keinginan beberapa pihak untuk melakukan alih fungsi kawasan TNRAW menjadi lahan pertambangan maupun perkebunan yang akhir-akhir ini mengemuka.


Nilai Konservasi

Dengan bentang ekosistem mulai dari mangrove, savanna, hutan dataran sampai pegunungan rendah dan rawa, menjadikan kawasan TNRAW sebagai lokasi penting untuk keterwakilan suatu wilayah biogeografi. Lokasi ini merupakan salah satu kawasan konservasi di Sulawesi yang menyokong jenis-jenis fauna endemik, langka dan terancam punah dengan kelengkapan ekosistemnya. Sampai saat ini kawasan konservasi di sulawesi lebih banyak mewakili daerah bagian tengah ke utara sehingga Taman Nasional ini mewakili daerah bagian tenggara yang berdasarkan posisi geografisnya berbeda dengan daerah lainnya.

Secara ekologis dan konservasi keempat ekosistem tersebut merupakan satu kesatuan yang saling mempengaruhi. Pada bagian utara kawasan terdapat rawa Aopa yang pasokan airnya sangat dipengaruhi oleh keberadaan hutan dataran rendah di pegunungan Ndolusamba – Makaleleo. Air hasil tangkapan hujan masuk ke rawa aopa dan keluarannya adalah sungai Konaweha dan sungai Aopa yang kemudian bersatu menjadi sungai Sampara. Rawa berfungsi sebagai tempat cadangan (reservoir) air dan mengatur air, baik dari daerah tangkapan hujan maupun air limpasan (run-off) sehingga kesatuan ekosistem ini merupakan contoh yang baik dari habitat limpasan banjir dan sumber cadangan air tawar. Rawa Aopa merupakan satu-satunya daerah utama di sulawesi untuk tipe lahan basah rawa gambut.

Sementara pada bagian tengah dan selatan, daerah tangkapan hujan di pegunungan Watumohai - Mendoke merupakan sumber air bagi sungai-sungai yang mengalir melalui savanna kedaerah mangrove. Savanna menjadi lokasi yang penting sebagai daerah resapan air, limpasan banjir, habitat bagi satwa migran serta menjadi koridor satwa yang berlindung di hutan dan savanna untuk mengasin di pingiran mangrove, sementara mangrove berfungsi secara ekologis untuk menahan intrusi air laut, menahan angin, daerah asuhan (nursery ground), daerah mancari makanan (feeding grounds) dan daerah pemijahan (spawning grounds) berbagai jenis ikan, udang dan biota laut lainnya.

Berdasarkan hasil survey dan penelitian, kawasan ini setidaknya menyokong kehidupan 501 jenis tumbuhan dan berbagai jenis satwa liar yang dilindungi karena keberadaannya terancam kepunahan, rentan dan/atau langka berdasarkan Red Data Book IUCN. Beberapa jenis satwa liar tersebut antara lain : burung Aroweli (Mycteria cinerea); buaya Muara (Crocodylus porosus); burung Kakatua Kecil Jambul Kuning (Cacatua sulphurea); burung Maleo (Macrocephalon maleo); burung Tikusan Sulawesi (Gymnocrex rosenbergii); Anoa (Anoa depressicornis, A. quarlessi); babi rusa (Babyroussa babirusa); musang Sulawesi (Macrogalidia muschenbroek), monyet digo (Macaca ochreata).

Didasarkan pada nilai penting tersebut, Pemerintah Indonesia telah mengusulkan kawasan ini sebagai “ramsar site”. Konvensi Ramsar sendiri merupakan perjanjian antar pemerintah (intergovernmental treaty) yang diselenggarakan di kota Ramsar, Iran pada tanggal 2 Februari 1971. Nama konvensi ini biasanya tertulis sebagai “Convention on Wetland (Ramsar, Iran, 1971)”, tetapi kebanyakan orang mengenal konvensi ini sebagai “Konvensi Ramsar” atau “Ramsar Convention”. Secara formal (official), nama konvensi ini selengkapnya adalah “The Convention on Wetland of International Importance As Waterfowl Habitat”. Keanggotaan Indonesia dalam konvensi Ramsar secara formal tertuang dalam Keputusan Presiden (Kepres) Nomor: 48 tahun 1991 tanggal 19 Oktober 1991.


Dukungan Pembangunan
Lintas Sektor


Mungkin karena prioritas pengelolaan kawasan TNRAW selama ini masih dititik beratkan pada upaya perlindungan, mengakibatkan munculnya anggapan dari beberapa pihak bahwa kawasan ini hanyalah merupakan “lahan terlantar atau lahan tidur”. Padahal secara langsung maupun tidak langsung kawasan ini telah memberikan kontribusi yang penting dalam mendukung pembangunan lintas sektor, yang selama ini kurang disadari (atau bahkan tidak disadari) oleh berbagai pihak karena manfaat ini disediakan secara “gratis” dari alam.

Sungai-sungai yang berhulu dikawasan TNRAW selama ini telah dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat sekitar secara langsung maupun secara tidak langsung yang dikelola melalui PAM (Atari Indah dan Pinanggosi). Bahkan rawa Aopa adalah daerah yang penting dalam pemasok air bersih sampai Kota Kendari (rawa gambut merupakan “waduk alam” dan “spon raksasa” yang menampung air berlebih saat penghujan, menyimpan dan mengalirkannya secara perlahan). Disamping itu air dari kawasan TNRAW juga dimanfaatkan secara langsung untuk kepentingan pengairan persawahan/perkebunan di daerah sekitarnya, pada beberapa lokasi bahkan telah dibangun irigasi, antara lain bendungan Langkowala, Sumber Jaya, Lambandia dan embung Mokupa.

Menurut Putri Indra A.S.L.P dkk (2005), nilai ekonomi pemanfaatan air bersih oleh masyarakat sekitar kawasan TNRAW ini setidaknya mencapai Rp. 363.994.765.887,-/tahun. Nilai ini belum termasuk nilai pemanfaatan untuk kepentingan pertanian/perkebunan, dan penilaiannya-pun masih terbatas pada lokasi disekitar kawasan, padahal kita ketahui bersama bahwa pemanfaatan air ini dilakukan dari hulu hingga hilir dan tidak dapat dibatasi, bahkan oleh batas administrasi pemerintahan sekalipun.

Kawasan ini juga memiliki nilai penting bagi masyarakat setempat, rawa Aopa merupakan penghasil ikan baik sebagai sumber mata pencaharian maupun sebagai penambah protein. Demikian pula dengan mangrove Lanowulu – Langkowala menjadi tempat utama yang menghasilkan udang, ikan dan kepiting, bahkan produk terasi Tinanggea yang sudah begitu terkenal, bahan bakunya diambil dari kawasan ini.

Menurut Prasetyo (2008), nilai ekonomi hutan mangrove TNRAW dari aktifias pemanfaatan langsung yang dijumpai adalah sebesar Rp. 2.153.547.750,-/tahun. Nilai pemanfaatan langsung ini meliputi pemanfaatan biota laut (ikan, udang, kepiting) dan budidaya rumput laut pada hutan mangrove yang ada di wilayah Kabupaten Konawe Selatan, penilaian ini belum termasuk hutan mangrove di wilayah Kabupaten Bombana serta pemanfaatan tak langsung lainnya.

Berdasarkan data Balai TNRAW (2004), di kawasan ini setidaknya terdapat 144 jenis tumbuhan yang dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar secara tradisional, baik untuk ramuan obat tradisional (30 jenis), tumbuhan hias (12 jenis), bahan kerajinan anyaman (11 jenis), dan pemanfaatan lainnya. Sementara untuk jenis satwa liar terdapat setidaknya 58 jenis yang dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan ramuan obat tradisional, sumber protein hewani, dan pemanfaatan lainnya.

Di bidang ilmu pengetahuan, telah banyak penelitian yang dilakukan di kawasan ini baik oleh peneliti dalam negeri maupun manca negara. Selain itu kawasan ini juga menjadi lokasi pendidikan lingkungan yang cukup baik, secara rutin mahasiswa perguruan tinggi yang dimotori oleh Universitas Haluoleo - Kendari melakukan peneltian maupun praktek lapangan.


Kawasan TNRAW vs Perubahan Fungsi

Dalam konteks pembangunan daerah, sektor pertambangan dan perkebunan merupakan andalan pemasukan pendapatan daerah sekaligus “motor penggerak” pembangunan jangka menengah. Dengan dugaan potensi tambang dan adanya anggapan “lahan terlantar atau lahan tidur” sudah tentu kawasan ini menjadi salah satu (dari mungkin sekian banyak kawasan hutan) yang dilirik untuk dialih fungsikan peruntukannya. Jika alih fungsi kawasan TNRAW menjadi pilihan, setidaknya kita harus siap menjawab pertanyaan berikut :

Pertama. Kawasan TNRAW secara nasional maupun internasional telah diakui keberadaannya. Komitmen pemerintah saat KTT Perubahan Iklim akhir tahun 2007 lalu dan keanggotaan dalam Konvensi Ramsar perlu dipertanyakan, belum lagi ancaman boikot terhadap produk yang dihasilkan dari perubahan lahan kawasan TNRAW.

Kedua. Sebagian besar pemenuhan kebutuhan air untuk kepentingan minum, pengairan sawah dan kebun serta perikanan masyarakat sekitar kawasan yang didapatkan secara gratis akan terganggu, dan akan menimbulkan dampak penurunan kualitas lingkungan, hilangnya peluang pemanfaatan potensi SDA dimasa depan (khususnya dibidang penelitian dan pengembangan IPTEK) serta menurunnya produksi pangan dan hilangnya lapangan pekerjaan.

Ketiga. Berapa biaya yang dikeluarkan untuk menanggulangi masalah-masalah tersebut diatas, ataukah kita hanya akan “kaya” dalam tempo singkat akan tetapi secara terus menerus menanggung beban moral dan biaya sosial.

Keempat. Rusaknya sebagian kawasan TNRAW apakah dapat menjadi dalih untuk mengubah fungsi kawasan, ataukah seharusnya menjadi “pelecut” semangat bersama untuk bahu membahu melestarikannya demi kelestarian manfaat yang telah kita terima selama ini.

Sementara jika perubahan fungsi bukan menjadi pilihan, maka optimalisasi fungsi dan pemanfaatan kawasan TNRAW untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang KSDAHE merupakan sesuatu yang tidak dapat ditawar-tawar. Agar tidak memunculkan pertanyaan berulang “apa pentingnya melestarikan kawasan ini ?”.

Sudah tentu, upaya optimalisasi fungsi kawasan ini tidak akan mampu diwujudkan oleh pengelola kawasan TNRAW saja tanpa dukungan dan partisipasi aktif semua pihak. Oleh karena itu pemerintah daerah, swasta, perguruan tinggi, LSM, pers maupun masyarakat secara bersama dituntut lebih berperan dalam pengelolaan dan pelestarian kawasan sesuai bidangnya masing-masing. Dengan demikian diharapkan akan menjamin kelestarian manfaatnya saat ini dan masa mendatang, serta menjadi kebanggaan daerah.